Jumat, 22 Februari 2013

Berilah Hak untuk Sembuh

Kaum homoseksual berteriak agar diberi hak hidup seperti kaum heteroseksual yang lain, sudah biasa. Kampanye agar mereka diterima secara terbuka oleh masyarakat, juga sering kita dengar.
Uniknya, di negara Barat, kini ada juga kampanye agar mereka yang tidak merasa nyaman dengan orientasi homoseksualnya diberi hak untuk mencari kesembuhan. Bagaimana Indonesia? Oh, tentu saja itu masih jauh dari panggang api.

Bagaimana ceritanya hingga orang yang ingin reorientasi seksual harus diberi hak? Ikhwal cerita bermula dari kebijakan American Psychiatric Association (APA) yang mendelete klasifikasi homoseksual dari daftar penyakit mental pada 1973. Arsitek kebijakan ini adalah Dr.Robert Spitzer. Spitzer adalah seorang periset terkenal dari Columbia University. Spitzer sendiri adalah seorang psikiatris yang mendukung gay dan dalam waktu yang panjang mendukung penegakan hak-hak kaum gay.

Alasan dikeluarkannya homoseksual dari daftar penyakit mental adalah argumentasi bahwa homoseksual itu in born alias pemberian Tuhan, alias pembawaan alias gay gene. Dengan demikian, homoseksual tidak bisa disembuhkan dan bukan suatu penyimpangan.

Banyak psikiatri AS yang tak setuju pada kebijakan APA ini. Kebijakan ini dinilai terlalu terburu-buru dan menyebabkan riset ilmiah tentang apakah homoseksual bawaan atau bukan, menjadi tidak bergairah lagi. Kebijakan itu seolah menutup upaya untuk mencari jawab yang sebenarnya tentang homoseksual. Keputusan APA juga dinilai tidak berdasar bukti-bukti ilmiah.

Kebalikannya, keputusan APA disambut sukacita oleh kaum homoseksual. Mereka kian bersemangat untuk tampil dan memperjuangkan hak-hak yang selama ini dienyam kaum heteroksual seperti hak mengasuh anak, perkawinan, warisan,dll.

Kalangan ilmuwan yang juga aktivis gay mengakui bahwa peran mereka sangat tinggi dalam mendorong keluarnya keputusan APA itu. “Aktivis gay nyata-nyata adalah kekuatan yang menggerakkan APA untuk memindahkan homoseksualitas dari klasifikasi (penyakit mental),” aku Simon Le Vay, seorang ilmuwan yang juga aktivis gay.

Namun, masih ada juga ilmuwan yang mencoba membuktikan apakah homoseksual merupakan bawaan atau bukan. Hasil riset-riset yang cukup mumpuni dilakukan di era 90-an. Nama-nama seperti Bailey dan Pillard, Dean Hammer, dan Dr Rice, dan nama-nama lain, lekat dengan riset pembuktian gen dan homoseksualitas.
Hasilnya, riset-riset mereka tak satu pun yang mendukung bahwa gen mempunyai pengaruh determinan yang membuat seseorang menjadi homoseksual. Kalangan ilmuwan yang juga pendukung atau aktivis gay pun lambat laun banyak yang berganti pendapat dengan menyetujui bahwa homoseksual lebih dipengaruhi oleh lingkungan (kontruksi sosial) dibanding faktor genetika. Ini karena riset yang mereka lakukan pun tidak mendukung teori gay gene yang mereka pegang selama ini.

Dan karena faktor lingkungan lebih berperan, akibatnya, penyembuhan bukan tidak mungkin dilakukan. Seperti halnya ketergantungan narkoba, alkohol, merokok, yang disebabkan karena lingkungan dan bukan genetika, maka homoseksual bisa direorientasi.

Upaya reorientasi ini bisa dilakukan dengan treatmen psikologi maupun keagamaan. Di AS, upaya penyembuhan seperti ini banyak mendapat tantangan keras dari mereka yang tetap berkeyakinan bahwa homoseksual adalah pemberian Tuhan. Mereka menuduh treatmen penyembuhan tidak akan efektif dan hanya menimbulkan rasa sakit belaka.

Benarkah demikian? Dr Robert Spitzer, arsitek penghapus homoseksual dari daftar penyakit menyimpang APA, menolaknya. Setelah belasan tahun berlalu, Spitzer mengadakan studi tentang bisa tidaknya homoseksual disembuhkan. “Saya telah yakin bahwa dari orang-orang yang telah saya interview, banyak di antara mereka yang telah membuat perubahan substansial dengan berubah menjadi heteroseksual. Saya rasa itu berita! Saya memulai studi ini dengan penuh keraguan. Sekarang saya mengklaim bahwa perubahan-perubahan itu dapat dibenarkan,” begitu kesimpulan Spitzer.

Yang lebih menarik, pernyataan Spitzer pada jurnalis yang menanyakan padanya apa yang dia lakukan jika anak remajanya mengaku homoseksual. Spitzer menjawab bahwa dia berharap anaknya tertarik untuk berubah dan mendapatkan bantuan untuk bisa berubah.

Karena sikap Spitzer yang berubah 180 derajat terhadap isu homoseksual ini, dia pun mendapatkan banyak “surat kebencian” dan komplain dari kolega-koleganya.
Ingin kembali straight? Anda berhak melakukannya! (Diolah dari www.narth.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar